WELCOME TO MY BLOGGER

Sejarah Ultrasmania Gresik

Dengan 15 personel untuk mendukung sebuah tim besar pada masanya komunitas yang benama Ultras berangkat ke Solo guna mendukung tim kebanggaan Kota Gresik ,remaja asli Gresik “LUCKI” seorang mahasiswa Malang pada waktu itu memberikan nama pada rombongan itu dengan nama ULTRAS yang bermakna Ulah Trampil dan Rasional, Ultras dibentuk untuk membuat jati diri sebuah supporter yang mampu memberikan dukungan positif dan rasional terhadap tim kebanggaannya.

Pada tanggal 5 November 1999 ditetapkan sebagai hari lahirnya Ultras Gresik yang di ambil dari negara Italia yang bermakna Supporter militan ( mania )ini diawali dengan pawai besar besaran di dalam kota dan memberikan dukungan pertama ke Jember pada laga Piala Gubenur I dan dan sempat memberikan nilai positif dalam berkreasi di senayan BungKarno Jakarta sehingga mengantarkan Gresik terharum namanya dengan menjadi Juara liga indonesia yakni PS. Petrokimia Putra. Besarnya komunitas supporter menjadikan rasa kedewasaan yang menuntut pembenahan dlm kepengurusan maka diadakan nya Kongres I sehingga pada piala Gubenur yang ke Ultras di nobatkan sebagai supporter terbaik se jawa timur dan sempat menjadi supporter kreatif se indonesia fersi SIWO -PWI. Sampai terdegradasinya PS. Petrokimia Putra tidak membuat surut semangat Ultras untuk menghidupkan persepakbolaan di Kota Gresik tercinta ini.

Pada November 2005 lalu persepak bolaan gresik nyaris hilang dengan adanya ultimatum dari pihak Petro sebagai pengelola PS.Petrokimia Putra di karenakan alasan dana, dengan segala cara Ultras mengambil cara dan jalan agar sepak bola di kota Gresik tidak sampai hilang begitu saja. Demo penyampaian aspirasi ke Kantor DPR dan juga ke Kantor Utama Graha PetroKimia. Dengan membuahkan hasil adanya Komitmen dari Pihak Pemkab Gresik dan juga PT. Petrokimia yang di jembatani melalui Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gresik, maka lahirlah Gresik United sebagai ganti hilang nya Petro Putra dan Persegres yang pernah mengharumkan nama Kota Gresik sebagai jawara Ligina.

Sabtu, 12 Mei 2012


Ultras diambil dari bahasa latin yang
mengandung artian 'di luar kebiasaan'. Kalangan ultras tidak pernah
berhenti menyanyi mendengungkan yel-yel lagu kebangsaan tim mereka
selama pertandingan berlangsung. Mereka juga rela berdiri sepanjang
pertandingan berlangsung (karena negara-negara yang terkenal dengan
ultras nya seperti Argentina dan Italia, menyediakan tribun berdiri di
dalam salah satu sudut stadion mereka). Selain itu pun para ultras
paling senang menyalakan kembang api atau petasan di dalam stadion
karena hal itu didorong untuk mencari perhatian, bahwa mereka hadir di
dalam kerumunan manusia di dalam stadion.






“As an ultra I identify myself with a particular way of life. We are
different from ordinary supporters because of our enthusiasm and
excitement. This means, obviously, rejoicing and suffering much more
acutely than everybody else “.






Nukilan kalimat dari seorang anggota Brigate Rossonere, salah satu
ultras AC Milan, membantu kita untuk mengenali fenomena ultras. Ultras
bukanlah sekadar kumpulan suporter (tifosi) biasa melainkan kelompok
suporter fanatik nan militan yang mengidentifikasikan secara
sungguh-sungguh dengan segenap hasrat dan melibatkan dengan amat dalam
sisi emosionalnya pada klub yang mereka dukung.
 Ultras mempelopori suporter yang amat terorganisir (highly
organized) dengan gaya dukung ‘teatrikal’ yang kemudian menjalar ke
negara-negara lain. Model tersebut sekarang telah begitu mendominasi di
Prancis, dan bisa dibilang telah memberi pengaruh pada suporter
Denmark ‘Roligans’, beberapa kelompok suporter tim nasional Belanda dan
bahkan suporter Skotlandia ‘Tartan Army’
 Model tersebut masyhur karena menampilkan pertunjukan-pertunjukan
spektakuler meliputi kostum yang terkoordinir, kibaran aneka bendera,
spanduk & panji raksasa, pertunjukan bom asap warna-warni, nyala
kembang api (flares) dan bahkan sinar laser serta koor lagu dan
nyanyian hasil koreografi, dipimpin oleh seorang CapoTifoso yang
menggunakan megaphones untuk memandu selama jalannya pertandingan.
 Dalam tradisi calcio, ultras adalah “baron” dalam stadion. Mereka
menempati dan menguasai salah satu sisi tribun stadion, biasanya di
belakang gawang, yang kemudian lazim dikenal dengan sebutan curva.
Ultras tersebut menempati salah satu curva itu, baik nord (utara) atau
sud (selatan), secara konsisten hingga bertahun-tahun kemudian. Utras
dari klub-klub yang berbeda ditempatkan pada curva yang saling
berseberangan. Selain itu, berlaku aturan main yang unik yaitu polisi
tidak diperkenankan berada di kedua sisi curva itu.
 Kelompok Ultras yang pertama lahir adalah (Alm.) Fossa dei Leoni,
salah satu kelompok suporter klub AC Milan, pada tahun 1968. Setahun
kemudian pendukung klub sekota sekaligus rival, Internazionale Milan,
membuat tandingan yaitu Inter Club Fossati yang kemudian berubah nama
menjadi Boys S.A.N (Squadre d’Azione Nerazzurra). Fenomena ultras
sempat surut dan muncul lagi untuk menginspirasi dunia dengan aksi-aksi
megahnya pada pertengahan tahun 1980-an.
 Fenomena ultras sendiri diilhami dari demontrasi-demontrasi yang
dilakukan anak-anak muda pada saat ketidakpastian politik melanda
Italia di akhir 1960-an. Alhasil, sejatinya ultras adalah simpati
politik dan representasi ideologis. Setiap ultra memiliki basis
ideologi dan aliran politik yang beragam, meski mereka mendukung klub
yang sama. Ultras memiliki andil “melestarikan” paham-paham tua seperti
facism, dankomunism socialism
 Mayoritas ketegangan antar suporter disebabkan oleh perbedaan
pilihan ideologis daripada perbedaan klub kesayangan. Untungnya, dalam
tradisi Ultras di Italia terdapat kode etik yang namanya Ultras codex.
Salah satu fungsi kode etik itu “mengatur” pertempuran antar ultras
tersebut bisa berlangsung lebih fair dan “berbudaya”. Salah satu etika
itu adalah dalam hal bukti kemenangan, maka bendera dariultras yang
kalah akan diambil oleh ultras pemenang. Kode etik lainnya ialah,
seburuk apapun paratifosi itu mengalami kekejaman dari tifosi lainnya,
maka tidak diperkenankan untuk lapor polisi.
 Dewasa ini, ultras kerap dipandang sebagai lanjutan atau warisan
dari periode ketidakpastian dan kekerasan politik 1960-an hingga
1970-an. Berbagai kesamaan pada tindak tanduk mereka disebut sebagai
bukti dari sangkut paut ini. Kesamaan-kesamaan itu tampak pada nyanyian
lagu - yang umumnya digubah dari lagu–lagu komunis tradisional -
lambaian bendera dan panji, kesetiaan sepenuh hati pada kelompok dan
perubahan sekutu dengan ultras lainnya, dan, tentunya, keikutsertaan
dalam kekacauan dan kekerasan baik antara mereka sendiri dan melawan
polisi!
 Bentrok dengan polisi menjadi salah satu tabiat asli ultras. Bagi
ultras, polisi adalah hal yang diharamkan alias A.C.A.B (All Cops Are
Bastar*s). Sebulan sebelum Sandri terbunuh, muncul klaim dari pihak
polisi yang menyatakan bahwa tak kurang dari 268 kelompok ultra dengan
aspirasi politik, semuanya memiliki semangat kebencian pada polisi.
Selain itu, masih menurut polisi, mayoritas kelompok tersebut
berhubungan dengan gerakan ekstrim kanan yang fasis.
 Tak hanya polisi, manajemen klub, staff pelatih dan bahkan pemain
juga pernah mengalami perlakuan tidak menyenangkan dari ultras.
Beberapa kelompok Ultras dalam menjamin dukungannya (terutama dalam
pertandingan tandang), memaksa klub untuk memberi jatah tiket gratis,
keuntungan perjalanan, dan bahkan hak atas merchandise. Ketegangan
dengan pihak klub kerap berujung boikot dukungan pertandingan di
kandang.
Namun sebenarnya ultras tidak seseram yang dibayangkan. Bahkan
dibandingkan dengan Hools (FIRM) di inggris. Karena sebenarnya ultras
menjauhi yang namanya keributan. (walaupun ada yg suka nyari
masalah).Dan tidak semua kelompok ultras berafiliasi politik. memang
ada yang kanan, kiri, merah, dsb...Tapi yang tidak bermain politik juga
ada.
Pelatih atau manajer yang mundur (bukan karena dipecat manajemen
klub) biasanya adalah produk dari tekanan ultras. Dari pihak pemain,
Christian “Bobo” Vieri pernah mengalami teror fisik dari ultrasInter,
termasuk dirusaknya salah satu properti bisnisnya, karena dianggap
berkurang kadar loyalitasnya pada tim.
 Dengan kemegahan dan kesuramannya ultras adalah fenomena khas
Italia, representasi masyarakat Italia, dan identitas calcio. Seperti
halnya kualitas Lega Serie A yang menjadi kiblat dunia sepak bola,
seperti sistem catenaccio yang mengilhami banyak pelatih di dunia, maka
aksi ultras di stadion pun menjadi rujukan dan referensi bagi
suporter-suporter negara lain, termasuk kelompok suporter di Indonesia.



 Suporter Indonesia Rasa Ultras
 Suporter di Indonesia sedang berada dalam periode bertumbuh. Dalam
lima tahun terakhir ini, muncul kelompok-kelompok suporter
terorganisir. Suatu fenomena yang berdampak amat positif bagi
perkembangan sepak bola nasional. Kehadiran kelompok suporter ini
sedikit banyak merubah gaya dukung dan pola perilaku penonton di
lapangan. Secara keseluruhan, berdampak pada industri sepak bola
nasional yang lebih semarak dan berwarna.
 Tak bisa dipungkiri aksi-aksi kreatif kelompok suporter di Indonesia
ini mengadopsi gaya suporter luar negeri. Meski di kemudian hari,
terjadi proses kreatif dengan lebih banyak menampilkan produk budaya
lokal. Suporter luar negeri yang menginspirasi itu bisa dari Barras
Bravas (Argentina/Amerika Latin),Roligan (Denmark), Tartan Army
(Skotlandia) dan tentunya Italian Ultras!
 Kentalnya budaya ultras bisa dilihat dengan teramat jelas dari
atraksi kelompok suporter kita di lapangan. Mulai dari menempati sisi
tribun tertentu meski tidak selalu di belakang gawang. Namun yang
konsisten di sekitar belakang gawang diantaranya yaitu ,Utras
Persija,Orange Street Boys(Persija),Slemania (PSS Sleman), dan
Brajamusti (PSIM Jogjakarta), sedangkan beberapa kelompok suporter
lainnya lebih suka di tribun tengah menghadap kamera! Menggunakan
istilah asing (Ultras) terkadang tidak juga salah asal mengerti dan
paham mengenai istilah tersebut. Ultras yang dipakai lebih ke
mentalitasnya.. nilai2nya... Saat supporter berdiri 90 menit dan
meneriakkan lagu2 pembangkit semangat (bukan lagu2 cacian kepada suatu
kelompok), tak peduli hasil yang dicapai,itu juga merupakan bagian dari
nilai2 ultras... saat anda melakukan koreografi2 memukau, itu bagian
dari nilai2 ultras..ataupun saat kami bertempur dengan supporter , itu
juga bagian dari nilai2 ultras..yang jelas Ultras tidak akan menyerang
jika tidak diserang terlebih dahulu,tidak akan menolong jika tidak
diperlukan
Tapi nilai2 itu, pastilah tercampur dengan budaya kita sendiri...
terkadang beberapa komunitas di dalam suporter Persija juga menggunakan
istilah ultras, walaupun saat mengaku ultras, mereka dengan bangganya
berfoto2 menunjukkan identitas mereka, ya mungkin itu pemahaman akan
arti ultras oleh mereka...(narsisme)… Di Luar Negri
(Italy,Inggris,German,dll) seorang ULTRAS mungkin tidak punya KTA/ID
Card atau bahkan kelompok tersebut sampai memiliki AD/ART karena mereka
sangat paham arti kata Ultras, alasan mereka datang ke stadion
benar-benar dari Hati dan Jiwanya..bukan juga karena UANG…sedangkan di
INDONESIA UANG adalah alat detok sempurna untuk sebuah loyalitas..Orang
bisa pindah agama,keyakinan,Klub,bahkan Partai.. Bagi saya AGAMA bisa
dipeluk oleh ribuan bahkan jutaan umat,TETAPI SEORANG manusia hanya
bisa PELUK SATU AGAMA, apabila ada yg percaya selain TUHANnya maka
disebut Musyrik Bahkan KAFIR...Team Sepakbola yang saya dukung Bisa
didukung oleh puluhan ribu supporter,TETAPI SEORANG SUPPORTER HANYA
BISA MEMILIH SATU TEAM SEPAKBOLA SAJA...Tetapi jika mendukung lebih
dari satu team,maka bisa disebut orang yang tidak memiliki komitmen
atau bahkan bisa dicap Pengkhianat…maka d iIndonesia muncul slogan
seperti SATU JAKARTA SATU (PERSIJA) ,SALAM SATU JIWA(AREMA) dll.
Pendukung suatu klub tak harus wadah tunggal (seperti Orde Baru).
Apalagi saat ini, mereka (kelompok suporter) melengkapi dengan AD/ART
bahkan disahkan dengan akte notaris segala. Ujung-ujungnya adalah
konflik kepentingan dan potensi dimanfaatkan elit politik. Contoh di
SRIWIJAYA FC supporter Singamania dan Beladas, di Persiba ada PFC dan
Balistik, di PERSIJAP ada Banaspati dan JETMEN,dll
 Nah kalo ultras di Indonesia itu yang hebat, terlalu rapi. Kalo
diluar negeri mereka hanya merupakan komunitas ataupun kelompok. Kalo
disini, kebanyakan merupakan organisasi yang memiliki AD/ART. Parahnya
masyarakat awam tidak bisa membedakan yang mana julukan suporter dengan
nama kelompok suporter. Seperti contoh The Jakmania. Yang merupakan
organisasi suporter pendukung Persija, tapi sering diartikan sebagai
julukan untuk menyebut seluruh suporter Persija. Padahal gak semua
suporter Persija adalah anggota The Jakmania. Dan memang tidak semua
klub punya julukan bagi suporter mereka.
 Dirijen seperti Yuli Sumpil, yang sohor itu adalah manifestasi
seorang CapoTifoso. Yuli memiliki wibawa seorang CapoTifoso, apabila ia
memerintahkan untuk melakukan suatu gerakan maka akan dipatuhi oleh
suporter termasuk (seandainya) memerintahkan mengintimidasi pemain lawan
dengan lemparan benda-benda, tetapi apabila ia melarang, maka tidak
ada satu pun suporter yang berani melawannya. Walaupun ada yang
berpendapat seorang Yuli Sumpil tidak pantas disebut demikian Karena
dia "hanya" memimpin Aremania. Beda dengan capo tifoso di curva sud
atau nord di Itali misalnya. Yang tidak hanya memimpin kelompoknya,
tapi memimpin seluruh kelompok yang ada di curva itu, untuk membentuk
koreo yang indah..
 Belum lagi kostum yang terkoordinir, dan bentangan spanduk yang di
pinggir-pinggir lapangan adalah rasa ultras pada suporter Indonesia.
Sayangnya, prestasi tim nasional dan klub-klubnya tak semanis prestasi
Squadra Azurri dan wakil-wakil Serie A di Eropa. Pahit getir sepak bola
Indonesia terutama sekali saat menilik kelakuan oknum pengurus dibawah
kepemimpinan Yang "Terhormat" Nurdin Halid!
 Seorang Ultras sejati tidak memiliki nama -hanya teman dekat yang
mengetahuinya-. Seorang Ultras sejati tidak dikenal oleh orang lain,
kepalanya selalu tertutup oleh “hood”, hidung dan mulutnya selalu
ditutup oleh syal. Seorang Ultras sejati tidak mengikuti mode dan hal
teranyar lainnya. Saat seorang Ultra berjalan dikeramaian, kendati
tanpa logo supporter, dia akan mudah dikenal orang lain.
Seorang Ultra sejati hanya menyerang jika diserang dan akan menolong
jika diperlukan. Seorang Ultra sejati tidak akan berhenti kendati tiba
di rumah dan membuka syalnya. Ultra Sejati akan selalu bertarung tujuh
hari dalam seminggu.
 Ultra tua akan memimpin dan memberikan contoh kepada yang muda.
Ultra muda harus memberikan rasa hormat kepada yang tua. Ultra muda
akan merasa bangga jika berdiri berdampingan dengan yang tua, mereka
akan belajar dari kritikan si tua. Yang muda akan bersemangat jika
mendapat jabatan tangan erat dari yang tua.
 Saat orang normal melihat tingkah laku Ultra, mereka tidak akan
mengerti, tetapi Ultra memang tidak ingin dimengerti atau menjelaskan
arti keberadaan mereka. Setiap Ultra berbeda; ada yang mengenakan logo
supporter atau tim ada juga yang tidak pernah menggunakan keduanya. Ada
yang bepergian dalam sebuah kelompok ada yang pergi secara individu.
 Kendati berbeda, satu hal yang membuat mereka bersatu adalah
kecintaan terhadap klub, hasrat mereka untuk berdiri selama 90 menit
tidak peduli hujan atau dingin. Mereka bersatu dan menghangatkan diri
dengan teriakan keras dan serempak, bersatu kendati tertidur setengah
mabuk di sebuah kereta atau bis yang membawa mereka pada pertandingan
tandang, bersatu karena konvoi di pusat kota tim lawan, bersatu karena
berbagi sedikit makanan setelah berjam-jam menahan rasa lapar, bersatu
karena berbagi sebatang rokok, bersatu karena berpenampilan sama,
bersatu karena idealisme, bersatu karena memiliki MENTALITAS yang sama.
 Semua hal diatas menyatukan kami sekaligus menjauhkan kami dari
bagian dunia yang lain; dari orang tua yang khawatir, dari sepupu yang
bodoh, dari teman sekolah atau rekan kerja, dari guru atau bos yang
tidak memiliki rasa toleransi. Ultras tidak pernah melakukan vandalisme
atau kekerasan tanpa alasan. Ini hanya cara untuk bertahan dari hidup
yang sudah terkena krisis masalah sosial, acara televisi yang bodoh,
disko yang terus menerus menarik anak muda dan terpenting tindakan
represif yang tidak dapat dibenarkan (polisi dan federasi).
Menjadi Ultra adalah seperti ini dan masih banyak lainnya seperti
emosi dan hasrat yang tidak dapat dijelaskan kepada orang lain yang
tidak mau mengerti atau kepada orang yang biasa memutar kepala dan
melanjutkan hidup di balik kaca, orang yang tidak memilik cukup NYALI
untuk menghancurkan kaca dan memasuki DUNIA KITA!
 Ultras.. Sebuah kata yang akhir2 ini sangat sering disebut oleh
media2 di tanah air seiring dengan banyaknya tindakkan hooliganisme
yang dilakukan beberapa kelompok ultras di Italia. Sangat lucu sekali
membaca beberapa comment di media yang menyebutkan bahwa ultras
memiliki arti 'garis keras' yang selalu di indentikkan dengan
hooliganisme. Tapi apa mau dikata, begitulah media, begitulah jurnalis,
mereka hanya bisa menulis apa yang bisa mereka lihat tanpa harus
benar2 mengerti dan benar2 memahami objek yang mereka jadikan berita.
 Perlu sedikit diluruskan mengenai makna kata 'ultras' sendiri.
Ultras bukan nama, Ultras adalah istilah.. sama dengan kata hooligan
yang juga merupakan sebuah istilah. Kata ultras sendiri berasal dari
suku kata Ultra yang dalam bentuk kata sifat berarti ekstrim dan dalam
kata benda berarti ekstrimis penambahan huruf s sebagai penunjuk bentuk
jamak (kelompok). Kata ekstrim sendiri berarti 'yang ter-'. 'yang
paling'. 'melebihi yang lain', atau 'lebih dari biasa'. Bila
dihubungkan dengan konteks supporter bisa dikatakan bahwa ultras
berarti kelompok supporter yang memiliki fanatisme, rasa cinta, dan
dukungan yang lebih dari supporter biasa. Sedangkan Hooligan sendiri
adalah istilah yang berarti 'perusuh' atau 'suka berbuat onar'.
 Ciri2 kelompok supporter Ultras adalah Selalu bernyanyi mendukung
kesebelasan kebanggaanya, mendukung tim mereka baik dikandang sendiri
maupun dikandang lawan, dan tak pernah meninggalkan tim kebanggannya
baik saat jaya maupun saat terpuruk. Dari ciri2 kelompok ultras
 sendiri bisa dikatakan bahwa hampir semua kelompok supporter di
Indonesia adalah Ultras. Slemania itu ultras, The Jak itu ultras,
Aremania itu ultras. klompok supporter lainnya juga ultras. Walau
mereka tidak ada embel2 kata ultras dalam organisasi mereka tapi
istilah ultras tetap mereka sandang karena mereka semua memiliki
karakter dan mentalitas ultras. Meski demikian, ada banyak juga
kelompok supporter (termasuk kami sendiri) yang menggunakan kata ultras
sebagai nama kelompok mereka.
 Jadi bisa disimpulkan bahwa Ultras dan Hooligans adalah dua istilah
yang berbeda dengan pengertian yang berbeda pula. Hampir semua
hooligans adalah Ultras, tapi tidak semua Ultras adalah hooligans..!!
 HOOLIGANS adalah fans sepakbola yang brutal ketika tim idolanya
kalah bertanding. Hooligan merupakan stereotif supporter sepakbola dari
Inggris, namun akhi-akhir ini menjadi fenomena dunia termasuk negara
Indonesia sendiri. Sebagian besar dari hooligan adalah para backpacker
yang berpengalaman dalam melakukan sebuah perjalanan. Tidak sedikit
dari mereka yang sering keluar-masuk penjara karena sering terlibat
dalam sebuah bentrokan. Mereka jarang menggunakan pakaian yang sama
dengan tim pujaannya agar tidak terdeksi kehadiran mereka oleh pihak
aparat. Meski demikian, keunggulan dari hooligan ini mereka paling anti
menggunakan senjata dalam melakukan sebuah duel, karena menurut mereka
itu hanyalah sebuah cara yang dilakukan oleh sekelompok banci.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar